Tate no Yuusha no Nariagari Chapter 21 Bahasa Indonesia
TNYNN Bab 21 - Konflik Langsung
Saat ini, taman istana telah berubah menjadi arena duel.
Disudut-sudut lapangan, obor api menyala terang dan para hadirin dari pesta berkumpul dengan harapan bisa menyaksikan duel antara dua pahlawan.
Sayangnya, hasil dari pertarungan ini sudah ditentukan.
Aku, yang tidak bisa memberikan serangan, melawan Pahlawan Tombak, Motoyasu.
Pertandingan diantara kelompok Pahlawan Perisai dan Pahlawan Tombak! . . .tidak! Apa yang akan terjadi selanjutnya ini adalah duel satu lawan satu antara Motoyasu dan aku.
Sepertinya ajakan untuk bertarung secara kelompok ini ditolak oleh Motoyasu karena harga dirinya, dan karenanya saat ini kami akan bertarung satu kali saja.
Semua orang sudah tahu bagaimana hasil dari duel ini.
Tidak terdengar suara ada orang yang bertaruh.
Walau dilakukan di dalam istana kerajaan, di antara sejumlah bangsawan juga terlihat petualang yang menerima hadiah dari membantu melawan serbuan.
Jadi sudah sewajarnya tidak mulai membuat taruhan disini.
Semuanya percaya kalau aku akan dikalahkan.
Sebagai penonton, Ren dan Itsuki terlihat sedang tertawa dari dalam teras istana.
Mereka sepertinya menantikan hiburan dari menyaksikan saat budakku diambil dariku.
Sial! Sial sial sial sial!
Mereka semua hanya memikirkan bagaimana caranya mempermalukanku.
Contohnya, hujan api yang diturunkan padaku saat pertempuran di tengah-tengah pernyerbuan.
Di mata semua orang di dunia ini, aku hanyalah bahan ejekan dan olokan.
. . . Bagus sekali. Kalah mungkin memang satu-satunya pilihanku. Tapi, aku tidak akan dikalahkan tanpa sebelumnya memberikan perlawanan.
“Sekarang, mari kita mulai duel di antara Pahlawan Tombak dan Pahlawan Perisai! Pemenang dan yang kalah akan ditentukan saat sebelum serangan akhirnya terkena lawan atau saat salah satu menyatakan kekalahannya!”
Aku memutar sendiku, meremas jariku, dan memasang kuda-kuda bertarung.
“Siapa yang akan jatuh terlebih dahulu, perisai atau tombak? Pertarungan seperti ini. . . ini cuma main-main.”
Motoyasu menatapku dengan benci dan mendengus dengan hidungnya.
Kau mengejekku?
“Kalau begitu—— — “
Motoyasu, akan kutunjukkan kepadamu kalau hanya tahu bagaimana caranya bertarung itu tidak akan membuat lawanmu kalah.
Jika aku bertanya kepada seorang pedagang apakah senjata yang tertajan atau senjata yang terkokoh yang bisa disebut ‘terkuat’ untuk seseorang miliki, maka pedagan itu akan menyanggah diri mereka dengan arti ‘terkuat’. Faktanya, kata itu sendiri tidak memiliki arti.
Tetapi, bahkan jika kata itu sendirinya adalah sebuah kontradiksi, aku akan menerima hal semacam itu.
Dan sejak awal juga, hal apa yang menentukan hasil duel ini?
Bukannya ini sama saja seperti Shogi dan Go?
Kalau memang seperti itu, bagaimana ini akan berpengaruh dengan hasil dari duelnya?
Tujuan utama dari sebuah tombak adalah untuk membunuh lawanmu.
Tujuan utama dari sebuah perisai adalah untuk melindungi dirimu.
Kalau ada orang yang menganalisanya secara seksama dan memikirkannya, perisai yang paling berguna untuk melindungi akan selalu lebih unggul daripada tombak tertajam.
Tujuan keduanya jauh berbeda. Tombak dan perisai itu.
“Mulai!”
“Uwwooooooooooooooooo!”
“Deriyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Aku maju ke arah Motoyasu dengan Telephone Punch sementara Motoyasu maju dengan mengangkat tombaknya, bersiap untuk menusukku.
Jaraknya memendek dengan cepat. Motoyasu mendorong tombaknya kearahku, memanfaatkan gerakan kami untuk menambah daya serangnya.
Tidak ada serangan yang tidak bisa ditangkis kalau arah serangannya bisa terlihat darimana asalnya.
“Chaos thrust!”
Motoyasu menggerakkan lengannya dan tombaknya langsung muncul dengan jumlah berkali-kali lipat.
Sebuah Skill! Benar-benar datang disaat yang tidak terduga.
Tapi lajuku tidak bisa dihentikan.
Aku terus maju sambil memasang perisai untuk melindungi kepalaku.
Clang!
Whooosh!
Guh. . . Aku bisa merasakan sakit disepanjang pundak sampai kakiku.
Walau hanya terkena goresan, serangan dari seorang pahlawan memang berbeda seperti yang kuduga.
Tetapi, Skill Motoyasu tiba-tiba berhenti, sepertinya sudah masuk ke waktu cooldown-nya.
“Makan ini!”
Tapi Motoyasu terus menusukkan tombaknya kepadaku.
Tombak itu, kelemahannya ada pada jarak serangnya.
Seperti senjata panjang lainnya, tombak dikhususkan untuk pertarungan jarak menengah. Saat sudah berada di jarak serangnya, kesulitan untuk menggunakannya menjadi terlihat jelas.
Biasanya, ini tidak jadi masalah karena kau hanya butuh mengalahkan musuh sebelum mereka punya kesempatan untuk mendekat. Tapi tidak untukku, perisaiku tidak akan jatuh hanya karena satu serangan.
Aku menghindari tusukan Motoyasu dengan jarak yang sangat tipis, dan kemudian maju dengan seluruh berat badanku, memfokuskan semuanya ke satu titik.
Dan kemudian tinjuku berhasil memukul wajah Motoyasu dengan apik.
Guh!
Cih! Memang tidak mungkin bagiku memberikan luka.
Tetapi, seranganku tidak akan berakhir begitu saja.
Si sialan Motoyasu bahkan tidak bergerak sedikitpun dari seranganku dan hanya memutar matanya.
Coba kita lihat seberapa lama kau bisa terus memasang wajah itu, hmm?
Aku mengeluarkan senjata mematikan dari dalam jubahku dan melemparnya ke wajah Motoyasu.
Gabuu!
“Sakit!”
Persediaanku seluruhnya habis dimusnahkan saat tadi penyerbuan dan hujan apinya, jadi aku kumpulkan lagi di sepanjang jalan menuju istana untuk keperluan negosiasi.
“Hah? Apa!?”
Kukuku. .. lihat si bodoh Motoyasu itu mengatakan sesuatu dengan kacau dan kebingungan.
Gabu gabu gabu!
“Aduh, sakit!”
Motoyasu menggeliat penuh penderitaan karena rasa sakit dari wajah berharganya yang digigit.
Ya, seranganku bukan hanya tangan kosong.
Ada juga senjata praktis yang diciptakan dari manusia unggulan, Balon!
“Ora ora ora!”
Dua di wajah dan satu tambahan di selangkangannya untuk memastikan dia tidak bisa berdiri lagi.
“Ke-, kenapa ada Balon!?”
Para penonton menjerit.
Sekarang kau tahu!
Aku terus menambahkan tendangan dengan berat badanku ke Balon yang sedang menggigiti selangkangannya.
“Guh. . . Keparat! Serangan macam apa ini!?”
“Karena aku tidak mungkin menang jadi aku permalukan saja kau sepuasnya! Incarannya adalah: wajah, bagian paling penting dari kepopuleran pria, dan selangkangan, bukti kejantananmu! Di dalam ‘bola’mu ini hanya berisi zat-zat otaku yang menjijikkan!”
“Apa!? Hentikkaaaaaaannn!”
“Jangan bercandaaaaaaaaa!”
Tanpa henti aku menendang selangkangan Motoyasu dengan kencang, terus menerus.
Motoyasu berhasil mencabut Balon di wajahnya, tapi tidak mampu mengeluarkan tenaga utuhnya untuk mengangkat tombaknya.
Untuk membuang waktu lebih banyak, aku memutuskan untuk melempar Balon yang tadi ia cabut ke wajahnya lagi.
Dan tentu saja Balon bukan satu-satunya senjata yang aku punya, ada juga Eggy. Keadaan Motoyasu seperti duduk di singgasana yang terbuat dari jarum.
Aku akan memuaskan diriku dengan mempermalukannya sekarang juga.
Lagipula aku pasti kalah, jadi akan aku ukirkan trauma terberat kejiwanya.
“Ora ora ora!”
“Agh! Keparat kauuu!”
Motoyasu memusatkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuhku dari dirinya, tapi aku terus memberikan serangan telak.
Fu fu fu!
Ini menyenangkan sekali! Biarkan aku dengar lebih banyak jeritan penderitaanmu!
Tawak dan senyumku muncul begitu saja dari dalam diriku.
“Guah!”
Tiba-tiba saja punggungku terdorong dan aku terlempar ke depan.
Aku menengok ke belakang ke arah dorongan tadi datang.
Dan yang kulihat adalah si wanita jalang itu!
Mein sedang bersembunyi di antara kerumunan dengan tangannya menjulur ke arahku.
Kemungkinan besar, sihir dengan tipe angin.
Lebih tepatnya, Wind Blow adalah mantra yang mengumpulkan dan menembakkan angin berjumlah banyak yang dipadatkan seukuran kepalan tangan.
Karena padatan udara itu transparan, tidak akan bisa terlihat kalau tidak diperhatikan baik-baik.
Si Mein itu menyeringai, kemudian menutup salah satu kelopak matanya dan menjulurkan lidahnya dengan penuh ejekan.
“Keparaaaaattt!”
Aku terhuyung lagi di tengah teriakanku karena serangan balasan Motoyasu, setelah kembali berdiri dengan ancang-ancangnya berkat berat yang menghilang dari tubuhnya.
Motoyasu terengah-engah selagi menahanku jatuh, mengancamku dengan menahan tombaknya pada leherku. Semua Balon-ku sudah dihabisi.
“Haa. . . Haa. . . Aku, adalah pemenangnya!”
Sambil memegang tombaknya, Motoyasu menyatakan kemenangannya dengan nada yang lebih putus asa daripada saat kita bertarung menghadapi serbuan bencana.
sumber : www.baka-tsuki.org
Saat ini, taman istana telah berubah menjadi arena duel.
Disudut-sudut lapangan, obor api menyala terang dan para hadirin dari pesta berkumpul dengan harapan bisa menyaksikan duel antara dua pahlawan.
Sayangnya, hasil dari pertarungan ini sudah ditentukan.
Aku, yang tidak bisa memberikan serangan, melawan Pahlawan Tombak, Motoyasu.
Pertandingan diantara kelompok Pahlawan Perisai dan Pahlawan Tombak! . . .tidak! Apa yang akan terjadi selanjutnya ini adalah duel satu lawan satu antara Motoyasu dan aku.
Sepertinya ajakan untuk bertarung secara kelompok ini ditolak oleh Motoyasu karena harga dirinya, dan karenanya saat ini kami akan bertarung satu kali saja.
Semua orang sudah tahu bagaimana hasil dari duel ini.
Tidak terdengar suara ada orang yang bertaruh.
Walau dilakukan di dalam istana kerajaan, di antara sejumlah bangsawan juga terlihat petualang yang menerima hadiah dari membantu melawan serbuan.
Jadi sudah sewajarnya tidak mulai membuat taruhan disini.
Semuanya percaya kalau aku akan dikalahkan.
Sebagai penonton, Ren dan Itsuki terlihat sedang tertawa dari dalam teras istana.
Mereka sepertinya menantikan hiburan dari menyaksikan saat budakku diambil dariku.
Sial! Sial sial sial sial!
Mereka semua hanya memikirkan bagaimana caranya mempermalukanku.
Contohnya, hujan api yang diturunkan padaku saat pertempuran di tengah-tengah pernyerbuan.
Di mata semua orang di dunia ini, aku hanyalah bahan ejekan dan olokan.
. . . Bagus sekali. Kalah mungkin memang satu-satunya pilihanku. Tapi, aku tidak akan dikalahkan tanpa sebelumnya memberikan perlawanan.
“Sekarang, mari kita mulai duel di antara Pahlawan Tombak dan Pahlawan Perisai! Pemenang dan yang kalah akan ditentukan saat sebelum serangan akhirnya terkena lawan atau saat salah satu menyatakan kekalahannya!”
Aku memutar sendiku, meremas jariku, dan memasang kuda-kuda bertarung.
“Siapa yang akan jatuh terlebih dahulu, perisai atau tombak? Pertarungan seperti ini. . . ini cuma main-main.”
Motoyasu menatapku dengan benci dan mendengus dengan hidungnya.
Kau mengejekku?
“Kalau begitu—— — “
Motoyasu, akan kutunjukkan kepadamu kalau hanya tahu bagaimana caranya bertarung itu tidak akan membuat lawanmu kalah.
Jika aku bertanya kepada seorang pedagang apakah senjata yang tertajan atau senjata yang terkokoh yang bisa disebut ‘terkuat’ untuk seseorang miliki, maka pedagan itu akan menyanggah diri mereka dengan arti ‘terkuat’. Faktanya, kata itu sendiri tidak memiliki arti.
Tetapi, bahkan jika kata itu sendirinya adalah sebuah kontradiksi, aku akan menerima hal semacam itu.
Dan sejak awal juga, hal apa yang menentukan hasil duel ini?
Bukannya ini sama saja seperti Shogi dan Go?
Kalau memang seperti itu, bagaimana ini akan berpengaruh dengan hasil dari duelnya?
Tujuan utama dari sebuah tombak adalah untuk membunuh lawanmu.
Tujuan utama dari sebuah perisai adalah untuk melindungi dirimu.
Kalau ada orang yang menganalisanya secara seksama dan memikirkannya, perisai yang paling berguna untuk melindungi akan selalu lebih unggul daripada tombak tertajam.
Tujuan keduanya jauh berbeda. Tombak dan perisai itu.
“Mulai!”
“Uwwooooooooooooooooo!”
“Deriyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Aku maju ke arah Motoyasu dengan Telephone Punch sementara Motoyasu maju dengan mengangkat tombaknya, bersiap untuk menusukku.
Jaraknya memendek dengan cepat. Motoyasu mendorong tombaknya kearahku, memanfaatkan gerakan kami untuk menambah daya serangnya.
Tidak ada serangan yang tidak bisa ditangkis kalau arah serangannya bisa terlihat darimana asalnya.
“Chaos thrust!”
Motoyasu menggerakkan lengannya dan tombaknya langsung muncul dengan jumlah berkali-kali lipat.
Sebuah Skill! Benar-benar datang disaat yang tidak terduga.
Tapi lajuku tidak bisa dihentikan.
Aku terus maju sambil memasang perisai untuk melindungi kepalaku.
Clang!
Whooosh!
Guh. . . Aku bisa merasakan sakit disepanjang pundak sampai kakiku.
Walau hanya terkena goresan, serangan dari seorang pahlawan memang berbeda seperti yang kuduga.
Tetapi, Skill Motoyasu tiba-tiba berhenti, sepertinya sudah masuk ke waktu cooldown-nya.
“Makan ini!”
Tapi Motoyasu terus menusukkan tombaknya kepadaku.
Tombak itu, kelemahannya ada pada jarak serangnya.
Seperti senjata panjang lainnya, tombak dikhususkan untuk pertarungan jarak menengah. Saat sudah berada di jarak serangnya, kesulitan untuk menggunakannya menjadi terlihat jelas.
Biasanya, ini tidak jadi masalah karena kau hanya butuh mengalahkan musuh sebelum mereka punya kesempatan untuk mendekat. Tapi tidak untukku, perisaiku tidak akan jatuh hanya karena satu serangan.
Aku menghindari tusukan Motoyasu dengan jarak yang sangat tipis, dan kemudian maju dengan seluruh berat badanku, memfokuskan semuanya ke satu titik.
Dan kemudian tinjuku berhasil memukul wajah Motoyasu dengan apik.
Guh!
Cih! Memang tidak mungkin bagiku memberikan luka.
Tetapi, seranganku tidak akan berakhir begitu saja.
Si sialan Motoyasu bahkan tidak bergerak sedikitpun dari seranganku dan hanya memutar matanya.
Coba kita lihat seberapa lama kau bisa terus memasang wajah itu, hmm?
Aku mengeluarkan senjata mematikan dari dalam jubahku dan melemparnya ke wajah Motoyasu.
Gabuu!
“Sakit!”
Persediaanku seluruhnya habis dimusnahkan saat tadi penyerbuan dan hujan apinya, jadi aku kumpulkan lagi di sepanjang jalan menuju istana untuk keperluan negosiasi.
“Hah? Apa!?”
Kukuku. .. lihat si bodoh Motoyasu itu mengatakan sesuatu dengan kacau dan kebingungan.
Gabu gabu gabu!
“Aduh, sakit!”
Motoyasu menggeliat penuh penderitaan karena rasa sakit dari wajah berharganya yang digigit.
Ya, seranganku bukan hanya tangan kosong.
Ada juga senjata praktis yang diciptakan dari manusia unggulan, Balon!
“Ora ora ora!”
Dua di wajah dan satu tambahan di selangkangannya untuk memastikan dia tidak bisa berdiri lagi.
“Ke-, kenapa ada Balon!?”
Para penonton menjerit.
Sekarang kau tahu!
Aku terus menambahkan tendangan dengan berat badanku ke Balon yang sedang menggigiti selangkangannya.
“Guh. . . Keparat! Serangan macam apa ini!?”
“Karena aku tidak mungkin menang jadi aku permalukan saja kau sepuasnya! Incarannya adalah: wajah, bagian paling penting dari kepopuleran pria, dan selangkangan, bukti kejantananmu! Di dalam ‘bola’mu ini hanya berisi zat-zat otaku yang menjijikkan!”
“Apa!? Hentikkaaaaaaannn!”
“Jangan bercandaaaaaaaaa!”
Tanpa henti aku menendang selangkangan Motoyasu dengan kencang, terus menerus.
Motoyasu berhasil mencabut Balon di wajahnya, tapi tidak mampu mengeluarkan tenaga utuhnya untuk mengangkat tombaknya.
Untuk membuang waktu lebih banyak, aku memutuskan untuk melempar Balon yang tadi ia cabut ke wajahnya lagi.
Dan tentu saja Balon bukan satu-satunya senjata yang aku punya, ada juga Eggy. Keadaan Motoyasu seperti duduk di singgasana yang terbuat dari jarum.
Aku akan memuaskan diriku dengan mempermalukannya sekarang juga.
Lagipula aku pasti kalah, jadi akan aku ukirkan trauma terberat kejiwanya.
“Ora ora ora!”
“Agh! Keparat kauuu!”
Motoyasu memusatkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuhku dari dirinya, tapi aku terus memberikan serangan telak.
Fu fu fu!
Ini menyenangkan sekali! Biarkan aku dengar lebih banyak jeritan penderitaanmu!
Tawak dan senyumku muncul begitu saja dari dalam diriku.
“Guah!”
Tiba-tiba saja punggungku terdorong dan aku terlempar ke depan.
Aku menengok ke belakang ke arah dorongan tadi datang.
Dan yang kulihat adalah si wanita jalang itu!
Mein sedang bersembunyi di antara kerumunan dengan tangannya menjulur ke arahku.
Kemungkinan besar, sihir dengan tipe angin.
Lebih tepatnya, Wind Blow adalah mantra yang mengumpulkan dan menembakkan angin berjumlah banyak yang dipadatkan seukuran kepalan tangan.
Karena padatan udara itu transparan, tidak akan bisa terlihat kalau tidak diperhatikan baik-baik.
Si Mein itu menyeringai, kemudian menutup salah satu kelopak matanya dan menjulurkan lidahnya dengan penuh ejekan.
“Keparaaaaattt!”
Aku terhuyung lagi di tengah teriakanku karena serangan balasan Motoyasu, setelah kembali berdiri dengan ancang-ancangnya berkat berat yang menghilang dari tubuhnya.
Motoyasu terengah-engah selagi menahanku jatuh, mengancamku dengan menahan tombaknya pada leherku. Semua Balon-ku sudah dihabisi.
“Haa. . . Haa. . . Aku, adalah pemenangnya!”
Sambil memegang tombaknya, Motoyasu menyatakan kemenangannya dengan nada yang lebih putus asa daripada saat kita bertarung menghadapi serbuan bencana.
sumber : www.baka-tsuki.org